Urgensi Fiqh dan Ushul Dalam Konstruk Epistemologi Islam

Layaknya sebuah menara yang gagah, Islam merupakan bangunan yang tersusun atas pondasi keilmuan (epistemologi) yang teramat kokoh dan mengakar.

Semenjak diturunkannya risalah kepada Nabi Muhammad –alaihis shalatu was salam- hingga detik ini, pondasi Islam tidak pernah mengalami renovasi dan perubahan berarti. Hal inilah yang diindikasikan oleh surat Al-Maidah ayat tiga, bahwa dinullah ini telah menemukan titik kesempurnaan dan kemapanan.

Pasalnya, karena konstruk Islam ditopang kuat oleh dua penyangga utama, yaitu al-Quran dan al-Hadits yang selalu terjaga otentisitas dan orisinalitasnya.

Risalah Ilahiyah berupa al-Quran dan al-Hadits inilah yang menjadi referensi utama kodifikasi hukum Islam yang lebih akrab kita kenal dengan istilah fiqh. Dari segi terminologi, para ulama mendefinisikan fiqh sebagai ”pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”.

Dalam tatanan praktis, definisi ini menghadirkan dua dimensi sekaligus, yakni disamping sebagai hukum positif yang legitimate, fiqh juga memancarkan dimensi etis yang menjadikannya sebagai standar moral kehidupan umat Islam.

Mengutip Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa manusia adalah ”domenieering being”, sosok makhluk yang berwatak dasar selalu ingin mendominasi dan menaklukkan yang lainnya serta berpeluang untuk menciptakan konflik dan ketidakaturan. Di sinilah peran fiqh hadir guna mengarahkan kehidupan umat manusia menuju keteraturan hidup di atas rel hukum-hukum Allah Ta’ala.

Fiqh merupakan kumpulan hukum Allah yang komprehensif (syumul). Di dalamnya tidak hanya diatur bagaimana berinteraksi dengan Allah (fiqh al-ibadat), atau aturan personal (fiqh as-suluk), interaksi dalam keluarga (fiqh al-usroh), namun juga memendarkan dimensi sosial (fiqh al-mu’amalat) bahkan mengatur hubungan multilateral antarnegara (fiqhul ’ilaqat ad-dualiyyah) yang kesemua itu mengarah pada satu titik menuju harmonisasi dan keteraturan hidup umat manusia.

Untuk itulah, meminjam istilah syaikh Al Qardhawi, fiqh haruslah selalu hidup (fiqhun hayy) dan berkembang dinamis mengiringi roda putar kehidupan manusia agar senantiasa berjalan di atas hukum Allah Ta’ala. Karenanya Fiqh mempunyai karakteristik yang istimewa, ia bersifat relatif dan fleksibel dalam menerjemahkan ajaran al-Quran dan al-Hadits sesuai perkembangan masa. Dan inilah wujud kebesaran Allah al- Mudabbir al-Hakkam yang selalu menjaga agama-Nya dari kecacatan dan kemafsadatan.

Fiqh sebagai hasil formulasi ijtihad yang diderivasi dari sumber utama al-Quran dan al-Hadits ini, tidaklah serta merta tercipta begitu saja. Ia telah mengalami proses pergumulan yang panjang dengan dimensi waktu dan tempat. Dan karena sifatnya yang relatif dan fleksibel inilah, kita juga menemukan banyak perbedaan pandangan para ulama’ fiqh (ikhtilaful fuqoha’) dalam merumuskan suatu hukum tertentu. Namun semua perbedaan itu tidaklah keluar dari kode etik fuqoha’ dan tidak pula menyalahi metode sistematis yang telah disepakati bersama.

Nah, beralih ke ulasan berikutnya, fiqh ternyata memerlukan perangkat teoretis dan metodologis untuk sampai pada kesimpulan hukum tertentu. Inilah yang kita pahami sebagai ushul fiqh. Dan secara definitif ulama’ menyatakannya sebagai ”pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara menggunakannya serta pengetahuan tentang orang yang menggunakannya”.

Ushul fiqh merupakan ramuan untuk memformulasi nash-nash al-Quran, al-Hadits, konsensus ulama’ (ijma’), dan analogi (qiyas) dalam melahirkan hukum-hukum Allah. Ini pula yang menjadi ciri khas konstruk epistemologi dalam Islam yang mempunyai hirarki sumber hukum yang urut, padu dan sistematis.

Memperbincangkan ushul fiqh tentu tidak terlepas dari mengulas sosok ulama’ yang telah berjasa besar dalam merumuskannya menjadi satu disiplin ilmu. Imam As Syafi’i, beliau yang terlahir pada tahun di mana imam Abu Hanifah wafat ini, telah menyumbangkan kontribusi luar biasa dalam membangun epistemologi Islam. As Syafi’i tidak sekedar berhasil melakukan sistematisasi untuk pengambilan hukum (istinbathul ahkam), namun juga menata kaidah atau metode perumusan hukum yang pada ujungnya berdaya manfaat dalam proses rasionalisasi pemahaman agama Islam itu sendiri.

Di masa Imam syafi’i ini metode pengambilan hukum memasuki masa transformasi secara sistemik-metodologis. Sumber-sumber pengambilan hukum (al-Quran, al-Hadits, Ijma’, Qiyas) menjadi lebih ringan untuk diderivasi menjadi hukum-hukum fiqh yang aplikatif. Hal ini  tentunya berbeda dari periode sebelumnya di mana para ulama’ terpolarisasi pada dua madzhab besar, kita mengenal madzhab ahl Iraq yang cenderung pada pendekatan dengan akal (bir ra’yi), sedang di kutub lain terdapat madzhab ahl hijaz yang terkesan tekstual dengan pendekatan hadits dalam proses penetapan hukum-hukum. Dan di tangan As Syafi’i  kedua landasan epistemologi kedua madzhab ini dipertemukan dalam satu metodologi yang padu dengan pendekatan ushul fiqh.

Fiqh dan ushul fiqh inilah tiang penyangga utama epistemologi Islam. Ia adalah karya murni para ulama’ Islam yang telah bergelut dalam proses panjang dengan sumber-sumber hukum Islam dan berinteraksi hangat dengan dimensi waktu dan tempat serta telah melalui masa kesejarahan yang panjang. Al fiqhu wa ushuluhu inilah yang akan merespon tuntutan zaman di mana masyarakat Islam dunia menantikan jawaban-jawaban problematika kehidupannya. Karenanya ia dituntut selalu dinamis dan berkembang, tidak boleh statis, stagnan dan terjebak dalam kejumudan agar senantiasa fresh menerjemahkan hukum-hukum Allah yang selalu proporsional melintasi dimensi waktu dan tempat (shalahiyyah li kulli zaman wa makan).

Inilah tantangan besar generasi muda Islam dan para ulama (fuqoha’ul yaum) yang dipundaknya terletak beban berat mengemban amanah menjadi perumus hukum (mujtahid) yang selalu dinantikan perannya. Karena hanya dengan berhukum pada syariat Allah Ta’ala umat ini akan bisa bangkit dari keterpurukan, mendulang kembali kegemilangan sejarah serta merebut kejayaan Islam agar kembali ke pangkuan! Mari kita rapatkan barisan menjemput kembali izzul Islam wal muslimin. wallahu a’lam bis shawab. faza_elimtiyaz

Posted by arif fortuna on 16.52. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for �Urgensi Fiqh dan Ushul Dalam Konstruk Epistemologi Islam�

Leave comment

dailyvid

FLICKR PHOTO STREAM

2010 BlogNews Magazine. All Rights Reserved. - Designed by SimplexDesign