Heboh Skandal KPK; Rekayasa Buaya Mengendus Cicak

Dalam rentetan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, sejatinya KPK bukanlah barang baru. Di era Orde Lama misalnya, keberadaan lembaga semacam ini telah lebih dahulu ada, meski pada perkembangannya tidak efektif dan berjalan terseok-seok. Pun ketika Soeharto berkuasa pada masa Orde Baru, komite yang dibentuk guna memberantas korupsi justru sangat rapuh dan hanya bersifat formalitas semata. Apa lacur, para perampok uang negara ketika itu hanya bergeming dengan keberadaan lembaga tersebut.

Pada titik ini, pembentukan lembaga pemberantasan korupsi semacam KPK jelas sangat diperlukan, mengingat Indonesia sampai saat ini masih bercokol sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Selain itu, maraknya temuan kasus korupsi yang berhasil dikuak oleh KPK pada era reformasi ini menjadi alasan lain kenapa lembaga ini menjadi begitu penting dan harus terus dipertahankan.

Sebagai sebuah instansi penegak hukum, peran KPK terbilang cukup unik. Dalam mengusut sebuah dugaan kasus korupsi, KPK berwenang penuh melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan di pengadilan. Padahal, selama ini kewenangan melakukan penyidikan dan penyedikan dikuasai utuh oleh kepolisian. Sementara penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan merupakan lahan garapan Kejaksaan Agung. Itu artinya, peran dan wewenang dua instansi penegak hukum dipegang kuat oleh KPK. Dualisme peran dan kepentingan ini rupa-rupanya dianggap “membahayakan”, sehingga pada perkembangannya turut memantik upaya penganuliran dan pelumpuhan terhadap KPK.

KPK Dalam Dilema

Celakanya, peran dan wewenang KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam hal tindak pidana korupsi rupanya kini menjadi dilematis. Di satu sisi, keberadaannya jelas dibutuhkan guna mengungkap kasus-kasus korupsi yang ada di Tanah Air. Namun di sisi lain, lembaga tersebut kini dituduh terlibat dalam skandal korupsi itu sendiri. Artinya, KPK kini terancam akan dibubarkan. Seandainya tudingan itu memang terbukti, maka cerita tentang pemberantasan korupsi di negeri ini hanyalah isapan jempol belaka. Hal inilah yang mencuat sejak terjadinya perkelahian kepentingan antara lembaga ini dengan Kejaksaan Agung dan kepolisian. Konflik Cicak melawan Buaya, begitulah publik ramai-ramai menyebutnya. Cicak adalah penganalogian terhadap KPK, sedangkan Buaya merupakan penggambaran kekuatan kepolisian dan Kejaksaan Agung. Pengandaian metaforik yang pada awalnya terlontar ketus itu pun kemudian berubah menjadi ejekan dan hinaan terhadap pihak-pihak yang sengaja mengkriminalkan KPK.

Jika ditelisik lebih dalam, maka akar permasalahan antara KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung saat ini bermula dari kasus terbunuhnya Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada enam bulan silam. Pimpinan KPK nonaktif, Antasari Azhar rupa-rupanya dituding sebagai otak utama di balik kasus tersebut. Tak pelak, sejak saat itu ia langsung ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai pimpinan KPK.

Testimoni Pembawa Petaka

Malapetaka yang menghempas KPK ternyata tak hanya sampai di situ. Pada tanggal 16 Mei 2009, Antasari Azhar yang tengah mendekam di balik jeruji besi Polda Metro Jaya tiba-tiba mengeluarkan testimoni perihal dugaan suap terhadap sejumlah pimpinan KPK. Dugaan tersebut terkait dengan pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. Dalam pengakuannya, Antasari menyebut sejumlah pimpinan KPK telah menerima suap dari Direktur PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo untuk "berdamai" dalam kasus itu. Uniknya, testimoni itu keluar pada saat KPK sedang gencar-gencarnya mengembangkan proses penyidikan dalam kasus pengadaan SKRT tersebut, di samping tengah memburu Anggoro yang sedang menjadi buronan. Sepintas hal tersebut terlihat ganjil dan aneh, sebab bagaimana mungkin seorang mantan pimpinan sebuah lembaga tega mencoreng dan mempermalukan nama lembaganya sendiri.

Kontan saja, menanggapi testimoni tersebut, Bibit Samad Rianto menampiknya mentah-mentah. Sebab, menurutnya hal itu adalah fitnah yang sengaja dibuat-buat untuk menggembosi KPK. Ia dan rekan-rekannya di KPK tidak pernah menerima suap dari manapun seperti yang dituduhkan.

Lebih jauh, testimoni empat lembar yang menggemparkan tersebut setidaknya mampu mengindikasikan sebentuk simpulan. Bahwa ada semacam rekayasa bersama antara dua kakak beradik Anggoro dan Anggodo Widjojo, instansi penegak hukum, beserta sejumlah konglomerat dan koruptor hitam lainnya untuk menjerat dan membubarkan KPK. Logika sederhananya, jika upaya ini berhasil, maka proses penyidikan dalam kasus pengadaan SKRT itu dapat segera dihentikan, sehingga Si "Super Anggoro-Anggodo" bisa dengan bebas bergentayangan dalam zona aman. Begitu juga dengan dedengkot-dedengkot korupsi lainnya yang belum terendus oleh KPK. Tentang keterlibatan instansi penegak hukum, maka itu adalah hal yang begitu terang-benderang terbaca dalam kasus ini. Sebab, sangat tidak lucu ketika kepolisian membela mati-matian seorang Anggodo yang sudah jelas-jelas berstatus tersangka, jika tidak ada sederet kepentingan di balik itu semua.

Membaca kondisi ini, berbagai spekulasi pun merebak. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, Soeripto menyatakan bahwa ada skenario besar yang dimainkan oleh para konglomerat dan koruptor hitam untuk membubarkan KPK. Ia juga mengungkapkan bahwa skenario ini bisa melibatkan eksekutif, legislatif, maupun penegak hukum. Semua bisa terlibat dalam lingkaran konspirasi. Soeripto benar, belakangan skenario itu terungkap dan dipertontonkan secara vulgar dan telanjang di hadapan publik. Rekaman hasil sadapan KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi jelas-jelas merupakan bukti tak terbantah akan adanya rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK tersebut. Naifnya, nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebut-sebut terlibat dalam pusaran kasus kriminalisasi itu.

Kian jauh panggang dari api, kisruh testimoni itu akhirnya berujung pada penonaktifan Bibit-Chandra, yang pada akhirnya ditahan sejak 29 Oktober silam. Akibatnya, pro dan kontra pun terus bergulir. Ada yang membela Polri, namun tak sedikit juga yang mendukung Bibit-Chandra. Menariknya, dukungan dari kalangan Facebookers kepada dua pimpinan nonaktif KPK itu justru terlihat paling mengemuka, di samping protes dan kecaman yang mereka lontarkan terhadap Polri dan mafioso-mafioso peradilan. Terang saja, publik negeri ini yang kebanyakan buta hukum namun masih memiliki nurani, rupa-rupanya jauh lebih baik ketimbang instansi penegak hukum yang sudah dikangkangi oleh sesosok cukong bernama Anggodo.

Rekayasa itu Akhirnya Terbongkar

Usut punya usut, tuduhan yang digelindingkan terhadap Bibit-Chandra itu ternyata mentah adanya. Tudingan yang menyatakan bahwa dua pimpinan nonaktif KPK tersebut menerima uang suap sebesar Rp. 5,1 milyar dari Anggodo Widjojo, sebagaimana pengakuan Ary Muladi, ternyata sampai saat ini tidak bisa dibuktikan. Merasa upayanya menemui jalan buntu, Anggodo dan antek-anteknya pun seolah kebakaran jenggot, dikarenakan saksi dan bukti yang mereka ajukan sangat lemah. Maka, dibuatlah seorang tokoh rekaan yang sampai saat ini tidak jelas rimbanya: Yulianto.

Lebih dari itu, skandal Bibit-Chandra yang dari hari ke hari semakin meruncing, pada gilirannya justru berhasil menguak kasus Antasari Azhar yang sudah lama tenggelam. Rekayasa berikutnya kembali terungkap. Upaya penonaktifan Antasari Azhar dari pimpinan KPK sejak enam bulan silam rupa-rupanya adalah skenario tingkat tinggi mafia-mafia hukum di negeri ini. Fakta itu kian kentara ketika mantan Kapolres Jakarta Selatan, Williardi Wizard mengaku telah diperintah oleh atasannya untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang berisi skenario untuk menjerat Antasari Azhar. Semua kebohongan besar itu akhirnya terbongkar. Publik pun semakin terperangah dan ternganga-nganga dengan muka panggung hukum yang selama ini borok. Sebuah pementasan wajah-wajah tidak bersalah baru saja digelar di negeri yang mendaku sebagai negara hukum.

Kini, keputusan itu ada di tangan SBY, apakah akan menjalankan rekomendasi Tim Delapan bentukannya atau menelantarkannya menjadi prosedur-prosedur hukum belaka. Derasnya kecaman yang terlontar akan sikap lamban SBY dalam kasus ini seharusnya membuat RI-1 itu sadar, betapa bangunan reputasinya kini sedang di ambang kehancuran. Pada gilirannya, Program Ganyang Mafia yang dicanangkan SBY dalam kinerja seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu II, sungguh merupakan harga mahal yang harus dibayar, apabila tidak ingin melihat publik semakin geram dan marah.

Oleh: Jemmy Hendiko*
*Mahasiswa tingkat akhir Al-Azhar University Cairo, Egypt
Faculty of Sharia And Law
Staf Divisi Kajian Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Cairo

Posted by arif fortuna on 17.09. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for �Heboh Skandal KPK; Rekayasa Buaya Mengendus Cicak�

Leave comment

dailyvid

FLICKR PHOTO STREAM

2010 BlogNews Magazine. All Rights Reserved. - Designed by SimplexDesign