Prinsip Keadilan dalam Islam

Agama kita sangat menekankan prinsip keadilan. Hingga hampir setiap Jum’at ketika hendak mengakhiri khutbah, khatib selalu berpesan kepada seluruh jamaah dengan membaca sebuah ayat, yaitu surat an-Nahl ayat 90:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Dalam ayat diatas Allah SWT memulai perintahNya dengan menyebutkan salah satu namaNya yang paling agung yaitu lafzul jalalah, ALLAH. Hal ini mengindikasikan bahwa perintah ini sangat penting.

Keadilan adalah prasyarat dari ketaqwaan. Tak ada seorang pun yang benar-benar takut kepada Allah tanpa berlaku adil. Seorang baru bisa dikatakan memiliki keyakinan kuat jika memiliki perilaku adil dalam hidupnya terhadap Allah dan sesama manusia.

Perhatikan firman Allah berkenaan dengan keadilan QS. an-Nisa 135:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

QS. al-Maidah 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kedua ayat diatas dengan jelas memanggil orang-orang yang beriman agar berbuat adil. Jadi orang yang tidak berbuat adil, maka imannya perlu ditinjau kembali. Kata al-Adl adalah kata Tauhid, karena salah satu nama Allah adalah al-Adl dan kita diperintahkan untuk breakhlak seperti sifat-sifat Allah yaitu berlaku adil.

Adil berarti jalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan double standart (ukuran ganda). Persamaan itulah yang menjadikan seorang yang adil tidak berpihak kepada salah satu yang berselisih, melainkan berpihak kepada kebenaran.

Marilah kita simak dalam sejarah keemasan Islam, ketika Amirul Mu’minin Umar bin Khattab membeli seeokor kuda dari seorang laki-laki Badui dan membayar kontan harganya, kemudian menaiki kudanya lantas pergi. Akan tetapi belum jauh mengendarai kuda, beliau menemukan luka pada kuda itu yang membuatnya terganggu ketika berpacu, maka beliau segera ke tempat dimana beliau berangkat, lalu berkata kepada orang Badui tersebut, “ambillah kudamu, karena ia terluka.”

Maka orang itu menjawab, “Aku tidak akan mengambilnya wahai Amirul Mu’minin karena aku telah menjualnya kepada Anda dalam keadaan tanpa cacat sedikitpun.”

Lalu Umar berkata, “Tunjuklah seorang hakim yang akan memutuskan perkara antara kamu dan aku. Lalu orang itu berkata: “yang akan menghakimi diantara kita adalah Syuraih bin al-Harits al Kindi. Lalu Umar berkata, “Baiklah , aku setuju.”

Amirul Mu’minin Umar bin Khattab dan pemilik kuda pun menyerahkan perkara mereka kepada Syuraih. Ketika Syuraih mendengar perkataan orang Badui, dia menegok ke arah Umar bin Khattab dan berkata: “Apakah engkau menerima kuda dalam keadaan tanpa cacat, wahai Amirul Mu’minin? “Ya” jawab Umar. Syuraih berkata: “simpanlah apa yang anda beli wahai Amirul Mu’minin atau kembalikanlah kuda tersebut dalam keadaan persis ketika anda menerimanya.”

Maka Umar melihat kepada Syuraih dengan pandangan kagum dan berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu, ucapan yang pasti dan keputusan yang adil.”

Dalam perkara yang lain, diriwayatkan ketika Ali bin Abi Thalib berperkara dengan seorang Yahudi. Ali merasa yakin bahwa baju besinya telah hilang dan kini ada pada Yahudi itu. Perkara itu tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, akhirnya dibawa ke pengadilan. Ketika Ali memasuki ruangan sidang, hakim Syuraih tetap duduk di tempat, meskipun kala itu Ali adalah Amirul Mu’minin, kepala negara, dia tidak berdiri untuk menyambut kedatangan Ali selaku kepala negara.

Hakim Syuraih memperlakukan dua orang yang berperkara tersebut dengan adil. Ia bertanya kepada Ali sebagaimana bertanya kepada seorang terdakwa. Kala Ali mengklaim bahwa baju besi itu miliknya, hakim meminta Ali untuk mengajukan dua saksi. Ali menyanggupi. Maka datang dua orang saksi yaitu Qanbar pembantunya dan al-Hasan putranya. Hakim menerima kesaksian Qanbar, tapi tidak menerima kesaksian putranya, Ali berkata: “tidakkah tuan dengar bahwa Umar telah berkata bahwa Rasulullah pernah berkata bahwa al-Hasan dan al-Husein adalah pemimpin surga?” “Memang benar”, jawab hakim Syuraih. Tidakkah diterima kesaksian pemimpin muda di surga” kata Ali lagi.

Namun hakim Syuraih tetap pada putusannya. Kesaksian al-Hasan ditolak hakim Syuraih kemudian memutuskan bahwa baju itu tetap milik lelaki Yahudi. Anehnya, ketika putusan itu dibacakan Ali tidak lagi angkat bicara, beliau menyerah pasrah bahkan tersenyum puas terhadap putusan hakim, dan berkata: “Sesungguhnya benar hakim Syuraih, saya tidak mempunyai bukti.”

Keadilan seperti inilah yang telah mengangkat nama baik umat Islam pada zaman Rasulullah saw dan seterusnya pada zaman sahabat yang benar-benar melaksanakan keadilan dengan mengikuti ajaran Islam sebenarnya.

Inilah sebagian kecil contoh berkenaan keadilan Islam yang tidak pandang bulu, meskipun terhadap diri ataupun keluarga sendiri, kita tetap mesti melaksanakan keadilan, meskipun terhadap orang yang kita benci sekalipun kita dituntut supaya kita berlaku adil. Betapa indahnya keadilan yang berdasarkan syariat Islam. Keadilan yang tak mengenal batasan etnis, keturunan dan agama. Tak mengenal pangkat, jabatan dan golongan.

Jauh sekali dengan kondisi di negeri kita saat ini, dimana keadilan hanya dirasakan oleh sebagian kecil kelompok orang. Cobalah kita perhatikan, bagaimana bisa seorang yang mencuri sebuah semangka dijatuhi 4 tahun penjara, seorang tua renta yang mencuri benda senilai tidak kurang Rp.50.000 dipenjara 4 tahun sedangkan para koruptor yang mencuri uang rakyat sejumlah jutaan bahkan milyaran rupiah, tidur nyenyak di sofa-sofa mewah. Bahkan mereka bisa berlibur dengan tenang. Inikah yang disebut keadilan.

Kita bangga menjadi bangsa muslim yang terbesar, namun kenapa bencana dan musibah tidak henti-hentinya ditimpakan atas bangsa ini. Tentu karena ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.

Perlu kita kembali mengingat sebuah hadits yang menjelaskan bahwa; pernah terjadi di masa Nabi Muhammad saw. Seorang yang terhormat dan punya kedudukan yang tinggi telah melakukan kesalahan mencuri, maka datang lah beeberapa orang menemui nabi saw supaya orang tadi dibebaskan dari hukuman, maka Nabi saw bersabda:

“Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman) tetapi jika yang mencuri orang awam/rakyat jelata maka ditindak atas nama hokum. Demi Dzat yang yang jiwaku dalam genggamanNya, apabila Fatimah putrid Muhammad mencuri, maka aku akan memotong tangannya. (HR. Bukhari)

Demi menjunjung tinggi keadilan, Rasulullah pun bersumpah akan memotong tangan putrinya sendiri jika memang benar terbukti mencuri. Inilah keadilan sebenarnya.

Ajaran keadilan adalah universal. Keadilan yang diajarkan Islam tidak mengenal batas-batas tertentu, tidak mengenal batas keluarga, ras, suku bangsa, status sosial, ekonomi hingga agama atau bahkan terhadap binatang sekalipun. Perintah berlaku adil adalah untuk semua makhluk yang ada di alam raya ini. Karena manusia pasti berinteraksi dengan semua makhluk Allah yang lain. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berlaku adil. Disarikan dari khutbah Jum'at 4 Des 2009 oleh H. Moch Bukhori Muslim Lc, MA Di Masjid Agung at-Tiin Jakarta.

Posted by arif fortuna on 09.36. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for �Prinsip Keadilan dalam Islam�

Leave comment

dailyvid

FLICKR PHOTO STREAM

2010 BlogNews Magazine. All Rights Reserved. - Designed by SimplexDesign